MUSISI legendaris asal Islandia, Bjork, menyuarakan keresahan dan kesedihan mendalam atas hilangnya Magga Stína, teman masa kecilnya yang juga seorang musisi. Dalam unggahan emosional di akun Instagram pribadinya pada Rabu, 8 Oktober 2025, Bjork mengungkapkan bahwa Stína diduga diculik oleh pasukan Israel saat berlayar bersama Freedom Flotilla, armada kemanusiaan yang berusaha menembus blokade dan mengirimkan bantuan ke Gaza.
“Teman masa kecil saya, musisi Magga Stína, baru saja diculik oleh tentara Israel. Ia berlayar mengikuti Greta Thunberg untuk mencoba membuka jalur bantuan internasional ke Gaza. Saya percaya bahwa aktivisme sama beragamnya dengan manusia. Saya mendukung Magga Stína dan Greta dalam melakukan apa pun yang mereka bisa untuk menghentikan genosida di Palestina,” tulis Bjork dalam unggahannya.
Seruan Bjork untuk Pemerintah Islandia
Dalam pernyataan tersebut, Bjork menyerukan kepada pemerintah Islandia agar bertindak dan menggunakan pengaruh diplomatik untuk membantu membebaskan Stína serta anggota Freedom Flotilla lainnya. Seperti dikutip dari NME, mengingatkan bahwa Islandia telah mengakui Palestina sebagai negara sejak 2014, dan kini saatnya mengikuti komitmen moral yang pernah diambil.
“Kami tahu, setelah menjadi koloni selama 600 tahun, bagaimana rasanya tertindas. Walaupun kami bangsa kecil, suara kami penting. Saya meminta otoritas Islandia untuk menghentikan interaksi bisnis dengan Israel sampai genosida di Gaza berhenti, dan memperjuangkan kembalinya Magga Stína dengan selamat,” tulisnya lagi. Unggahan tersebut juga menampilkan surat dari keluarga Stína yang meminta pemerintah Islandia untuk menggunakan seluruh kekuasaan dan memastikan Israel segera membebaskannya.
Aktivisme Konsisten: Dukungan untuk Palestina dan Boikot Budaya
Seruan Bjork kali ini bukanlah sikap politik pertamanya terhadap isu kemanusiaan di Palestina. Dilansir dari Euronews, ia sudah secara aktif menunjukkan solidaritasnya melalui tindakan nyata di dunia musik. Baru-baru ini, Bjork bergabung dalam kampanye global “No Music For Genocide”, sebuah gerakan boikot budaya yang menyerukan para seniman dan pemegang hak cipta untuk menarik katalog musik mereka dari layanan streaming di Israel.
Langkah itu diambil sebagai bentuk protes terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza, dan sebagai upaya menekan pemerintah serta korporasi agar berhenti menormalisasi kekerasan. Kampanye ini telah diikuti lebih dari 400 musisi dan grup internasional, termasuk Massive Attack, Fontaines D.C., Paramore, Kneecap, dan Wednesday. Para peserta meminta label besar seperti Sony, Universal Music Group, dan Warner Music melakukan hal sama — sebagaimana mereka sebelumnya memblokir katalog musik mereka di Rusia setelah invasi ke Ukraina.
Dalam pernyataannya, No Music For Genocide menegaskan bahwa aksi budaya memiliki kekuatan moral dalam perjuangan kemanusiaan. “Budaya tidak dapat menghentikan bom dengan sendirinya, tetapi dapat membantu menolak penindasan politik, menggeser opini publik menuju keadilan, dan menolak pencucian seni serta normalisasi negara mana pun yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Suara Kemanusiaan dari Salah Satu Legenda Musik
Bjork dikenal bukan hanya karena musiknya yang eksperimental dan penuh inovasi, tetapi juga karena kepekaan sosial dan politiknya. Dalam pernyataan terbarunya, ia menegaskan bahwa “keberanian untuk melawan penindasan dan mewakili perdamaian” adalah tanggung jawab moral, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi individu dan seniman.
“Dalam semangat yang sama, saya meminta seluruh dunia untuk membawa pulang setiap sandera dari setiap bangsa,” tulis Björk di akhir pesannya.
KINAR LAIMAURA
Pilihan Editor: Dukungan Pesohor Dunia untuk Palestina: Gelar Konser Amal dan Blokir Budaya


