POSTER film Jangan Panggil Mama Kafir menampilkan Michelle Ziudith berteriak pilu sambil memeluk seorang anak kecil. Wajahnya berurai air mata, seolah menahan luka yang tak tertanggungkan. Gambar itu bukan sekadar promosi, tapi simbol kuat dari konflik batin yang menjadi inti cerita film garapan Dyan Sunu Prastowo ini.
Pilihan Editor: Michelle Ziudith Dengarkan Lagu Adele untuk Film Jangan Panggil Mama Kafir
Poster Penuh Air Mata, Simbol Luka Michelle Ziudith
Visual Michelle yang menangis di poster film langsung mengundang tanya, apakah filmnya sesedih itu? Pertanyaan tersebut juga muncul saat sesi media visit di kantor Tempo pada Rabu, 25 September 2025.
Michelle menjawab dengan tegas, “Filmnya memang drama yang sangat berat. Emosinya berlapis-lapis, konfliknya nggak linier, dan terasa sangat dekat dengan realita di masyarakat,” katanya
Ia menekankan bahwa kesedihan di film ini berbeda dengan melodrama biasa. “Kalau jadi penonton mungkin gampang nangis, tapi kalau mengalaminya langsung itu bertubi-tubi, berlipat-lipat, dan nggak semudah itu,” tambahnya. Poster yang sederhana tapi sangat emosional itu sejatinya menjadi penanda bahwa film ini bukan hanya tentang air mata, melainkan perjuangan batin seorang ibu untuk tetap berdiri di tengah perbedaan iman.
Kisah Maria dan Pertaruhan Hak Asuh
Film produksi Maxima Pictures bersama Rocket Studio Entertainment ini akan tayang 16 Oktober 2025 di seluruh bioskop Indonesia. Ceritanya berpusat pada Maria (Michelle), perempuan Nasrani yang menikah dengan Fafat (Giorgino Abraham), pria Muslim. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putri bernama Laila (Humaira).
Film Jangan Panggil Mama Kafir. Dok. Maxima Pictures
Namun, kebahagiaan itu terhenti ketika Fafat meninggal. Maria harus membesarkan Laila seorang diri, hingga muncul konflik baru, Umi Habibah (Elma Theana), ibu mertua, menuntut hak asuh cucunya. Perseteruan keluarga itu mencapai puncaknya di ruang sidang, saat Laila dengan polos namun tegas berkata, “Jangan panggil Mama kafir.”
Sutradara Dyan Sunu Prastowo menyebut kisah ini lahir dari pengalaman nyata. “Film ini tentang perjuangan seorang ibu lintas iman memperjuangkan anaknya. Mengingatkan kita bahwa cinta tidak mengenal batas perbedaan,” ujarnya.
Bukan Cuma Drama Sedih
Meski sarat air mata, film ini tidak berhenti pada kesedihan. Michelle mengaku banyak belajar dari perannya sebagai Maria. “Tantangan terbesarku adalah menjadi ibu tunggal yang harus tetap tegar demi anak. Aku jadi sadar, seorang ibu harus bisa mencintai dirinya sendiri dulu supaya kasih sayangnya penuh untuk anak,” tuturnya.
Giorgino menambahkan, film ini relevan dengan kehidupan nyata banyak pasangan beda agama. “Isu kayak gini kan sensitif banget di masyarakat, jarang divisualisasikan. Justru di sini kita bisa lihat cinta dan toleransi ditempatkan di atas segalanya,” katanya.
Selain menghadirkan drama personal, Jangan Panggil Mama Kafir juga menyorot isu sosial yang dekat dengan masyarakat Indonesia yaitu bagaimana kisah cinta perbedaan iman kerap menjadi tembok besar dalam keluarga. Namun, inti film ini tetaplah tentang kasih seorang ibu. “Tagline ‘Jangan Panggil Mama Kafir’ itu lahir dari seorang anak untuk ibunya. Itu pengingat betapa hangatnya kasih seorang ibu,” ujar Michelle.