MIMBARKEPRI.CO, Jakarta – Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa usul Presiden RI Prabowo Subianto untuk memaafkan koruptor asal mengembalikan kerugian negara merupakan bagian dari amnesti.
Yusril mengatakan bahwa Prabowo, sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk korupsi.
Sebelum memberikan amnesti dan abolisi, Prabowo akan meminta pertimbangan DPR sesuai amanat konstitusi.
“Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara,” ujar Yusril.
Kementerian Yusril telah mengoordinasikan rencana pemberian amnesti dan abolisi sejak satu bulan lalu.
Langkah ini merupakan bagian dari rencana pemberian amnesti kepada total 44.000 narapidana, yang sebagian besar merupakan narapidana kasus narkoba.
Untuk narapidana kasus korupsi, ada beberapa syarat yang sedang dibahas, termasuk perhitungan besarnya pengembalian kerugian negara dan aturan teknis pelaksanaan pemberian amnesti dan abolisi.
“Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan konvensi tersebut, Namun, kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya,” ucap Yusril.
Yusril menilai pernyataan Prabowo menjadi gambaran perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP nasional yang akan diberlakukan awal tahun 2026.
“Penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif. Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya,” kata Yusril.
“Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya. (*)